Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Hubungan Ketenagakerjaan dalam Sistem Ekonomi Islam

EKISPEDIA.COMPermasalahan pelik yang diperhatikan dalam sistem ekonomi Islam di antaranya adalah hubungan ketenagakerjaan. Berbeda dengan teori hubungan produk yang mengisyaratkan adanya proses pelibatan faktor tenaga kerja dalam produksi, pada hubungan ketenagakerjaan pembahasan berpusat pada kewajiban dan hak pekerja yang harus dipenuhi oleh perusahaan atau pemberi kerja.

Perlu diperhatikan bahwa hubungan antara pekerja dan pemberi kerja diatur di bawah struktur akad ‘ijarah (sewa-jasa), dimana pemberi kerja disebut sebagai musta’jīr sedangkan pihak pekerja disebut sebagai mu’jīr.

Permasalahannya timbul dalam sistem produksi modern, dimana pekerja merupakan faktor produksi yang terintegrasi dan terlibat langsung sebagai bagian dari proses produksi dan bukan sebagai pihak pemberi jasa (vendor) yang tidak terlibat langsung.

Sebagai konsekuensinya, maka muncul hubungan ketenagakerjaan yang berbeda dari sekedar hubungan sewa-jasa (ijārah) dimana antara satu pihak dan pihak lain saling terpisah dan hanya terikat oleh hubungan jasa. Nash-nash pun tidak mencakup pola hubungan ketenagakerjaan modern dan lebih menekankan hubungan tenaga kerja sebagai properti domestik ketimbang faktor produksi.

Tenaga kerja dapat dipandang sebagai individu dengan kompentens tertentu yang dilibatkan dalam proses produksi dimana terjadi utilisasi atas nilai surplus yang dihasilkan dalam proses produksi. Pada konteks ini sistem ekonomi Islam berpandangan berbeda dengan aliran ekonomi Klasikal, dimana nilai surplus yang dihasilkan oleh tenaga kerja dikompensasi dengan nilai upah besi yaitu besarnya upah yang dibayarkan sesuai jam kerja yang kerap bernilai sangat rendah dan eksploitatif terhadap tenaga kerja.

Sistem ekonomi Islam sekalipun menganut sistem pemberian upah (‘ujrah) sebagai kompensasi atas hasil usaha tenaga kerja, tetapi ia menetapkan kerangka etika (ihsān) dalam memperlakukan pekerja yaitu tidak boleh membebankan pekerjaan di luar kapasitas dan kemampuan tenaga kerja, bahkan ketentuan ini diterapkan pada penggunaan tenaga hewan dalam kegiatan produksi, pemberian jaminan hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar (hadd al-kifayah) bagi tenaga kerja, pemberian upah yang layak sesuai deskrilsi dan karakteristik pekerjaan, pembayaran upah diberikan bahkan sebelum pekerja menyelesaikan pekerjaannya (sebelum keringatnya kering).

Sistem ekonomi Islam juga tidak sependapat dengan Karl Marx yang menganggap bahwa tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya menghasilkan nilai surplus (surplus value) atas hasil produksi yang menyebabkan tenaga kerja memiliki bagian hak kepemilikan atas hasil produksi dan keuntungan yang dihasilkan (revenue).

Islam tidak sepakat dengan Karl Marx sejauh hubungan ketenagakerjaan didasarkan pada akad ijarah (sewa jasa) yang telah dikembangkan menjadi model lebih lanjut (advanced).

Islam menempatkan kompensasi yang patut bagi tenaga kerja atas ikhtiyar menjalankan pekerjaannya dalam bentuk upah (‘ujrah) yang wajar dan tidak menzhalimi baik pengusaha maupun tenaga kerja. Islam juga tidak memandang bahwa nilai surplus yang dihasilkan pekerja atas hasil produksi menjadi penyebab bagi kepemilikan atas hasil produksi dan bagian keuntungan yang dihasilkan, dalam perspektif Islam hasil produksi merupakan pemilik atas faktor-faktor produksi, termasuk tenaga kerja yang berada di bawah pengurusannya, sehingga tidak dimungkinkan bagi tenaga kerja untuk menguasai hasil produksi.

Sebagai konsekuensinya, hubungan ketenagakerjaan dalam sistem ekonomi Islam menerapkan prinsip etika (ihsān) terhadap tenaga kerja yang harus terpenuhi sesuai dengan hak-hak dasar manusia (huqūq al-asasiyah al-insaniyah) yang mencakup hak kebebasan menjalankan ketentuan agama (al-huqūq ad-Diniyah) dalam bentuk pemberian kebebasan beribadah dan fasilitas ibadah, hak atas keselamatan jiwa (al-huqūq al-Insaniyah) seperti prosedur keselamatan dan jaminan keamanan kerja, jaminan asuransi jiwa, jaminan kesehatan etc.,

Hak atas keterpeliharaan akal (al-huqūq al-‘aqliyah) dimana pekerjaan yang dijalankan tidak boleh merusak dan menganggu akal dan psikologis manusia, lingkungan kerja yang sehat dan tidak toxic, pekerjaan yang tetap memperhatikan kondisi psimologis pekerja tanpa tekanan berlebihan terhadap psikologis dan kesehatan, etc., hak atas keterpeliharaan keturunan (al-huqūq an-Nasl) dari ancaman perkosaan dan pelecehan seksual (sexual harrassment), termasuk memperhatikan hak-hak istimewa pekerja perempuan seperti hak cuti haidh dan cuti hamil-melahirkan, etc.,

Hak atas keterpeliharaan harta (al-huqūq al-māl) yaitu hak terpeliharanya harta milik pekerja, pekerjaan yang diberikan tidak boleh mengganggu keuangan pekerja, pekerjaan harus dapat menjamin kesejahteraan pekerja, etc.,

Hak atas keterpeliharaan keseimbangan lingkungan hidup (al-huqūq al-hifzh al-biah) yaitu proses produksi tidak boleh menimbulkan dampak dan permasahan lingkungan hidup seperti polusi dan pencemaran, kegiatan produksi tidak boleh menimbulkan kerusakan alam atau dampak katastrofik akibat kesalahan prosedur kegiatan produksi, etc.,

Hak atas keterpeliharaan martabat dan nama baik pekerja (hifzh al-‘irdl wal maruah) yaitu terpeliharanya martabat dan nama baik pekerja dari diskriminasi dan penghinaan lingkungan kerja.

Prinsip lainnya yang mendasari hubungan ketenagakerjaan yaitu prinsip taṣarrufat al-‘adliyah, dimana pelibatan tenaga kerja dalam proses produksi tidak boleh merugikan atau menzhalimi baik pihak tenaga kerja maupun pihak penguasa yang memberi kerja.

Hak-hak tenaga kerja seperti telah disebutkan sepatutnya dapat dipenuhi oleh pengusaha, begitu pula tidak boleh merugikan atau menzhalimi pemberi kerja atau pengusaha yang dapat membebani biaya produksi sehingga kegiatan produksi sulit berjalan disebabkan tingkat keuntungan yang dihasilkan tidak dapat menutupi biaya-biaya produksi dan biaya modal agregat yang ditimbulkan.

Untuk mencegah konflik antara pihak tenaga kerja yang diwakili oleh serikat buruh dan pengusaha atau pemberi kerja, pemerintah sepatutnya dapat membentuk hubungan triparti dalam menjembatani kepentingan dan pendapat masing-masing pihak.

Pemerintah harus berdiri di tengah dengan adil untuk mencegah mudarat dan kezhaliman terhadap pihak tenaga kerja maupun pengusaha, memediasi apabila terdapat perselisihan dan sengketa ketenagakerjaan, serta mengelola kebijakan hubungan ketenagakerjaan yang berkedilan dan berkemaslahatan bagi seluruh pihak.

Wallahu a’lam