EKISPEDIA.COM – Ideologi Sosialisme-Marxisme mencuat sebagai kritik atas hegemoni Kapitalisme yang cukup kuat pada masanya. Salah satu proposisi yang digaungkan oleh Karl Marx saat itu adalah ketimpangan sosial-ekonomi yang sedemikian curam.
Konsep kebebasan ekonomi kapitalistik yang bernafaskan tanpa ikut campur tangan pemerintah ternyata justru menciptakan golongan kaya semakin tambah kaya, begitu pula sebaliknya. Kesejahteraan gagal didistribusikan dengan baik. Sehingga munculah ekonomi sosialis sebagai upaya menjawab gagalnya sistem ekonomi dalam mensejahterakan rakyatnya.
Saat peran pemerintah diminimalisasi oleh sistem kapitalis, sebaliknya sosialisme menghendaki dominannya peran pemerintah. Namun tujuan untuk menjembatani keadilan ekonomi antara golongan kaya dan miskin nampak tidak terformulasi melalui mekanisme yang ideal.
Sejarah
Islam telah memiliki konsepsi yang mutakhir terkait pendefinisian sistem kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Dunia modern mengenalnya sebagai keuangan sosial Islam, atau istilah populer yang lebih sederhana adalah filantropi Islam. Bentuknya berupa zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziswaf).
Ajaran Islam dalam konteks tafsir ekonomi berjalan pada ranah keseimbangan (tawazun). Ada posisi kepemilikan individu diberikan secara maksimal, di lain sisi Islam juga tidak menghapus kemungkinan adanya intervensi dari negara. Kepemilikan pribadi dan publik sama-sama ditempatkan pada posisinya secara proporsional.
Zakat, sebagai bagian instrumen filantropi Islam, pada prinsipnya adalah obligatori sistem. Selama syaratnya terpenuhi maka pemaksaan pengambilan zakat bisa dilakukan terhadap harta-harta tertentu.
Zakat, dalam bahasa Yusuf Qardhawi, bukan hanya tentang konsepsi tentang fiskal, melainkan juga tentang moral, sosial dan politik.
Secara umum filantropi Islam memainkan kontribusi signifikan sepanjang tarikan peradaban Islam. Tradisi wakaf misalnya, pada kisaran abad awal-awal hijriah banyak roda ekonomi berputar karena peran wakaf produktif. Pengairan pertanian dialiri air dari sumber wakaf produktif. Sejumlah lahan pertanian, rumah sakit, penginapan juga berusumber dari wakaf produktif.
Pada pertengahan abad 18 M, bahkan wakaf ikut andil dalam penyediaan roti dan sup para pelancong, ulama, masyarakat umum maupun warga miskin di Jerussalem, Palestina. Hasil dari wakaf produktif juga mampu membiayai sarana masjid, membangun rumah sakit, jembatan dan fasilitas publik lainnya.
Zakat juga mengambil peran penting dalam pemerataan ekonomi umat. Pada masa nabi, zakat menjadi salah satu sumber pendapatan negara melalui sistem kelembagaan Bait al-Mal. Pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, penghimpunan zakat begitu melimpah yang berdampak bagi pemerataan ekonomi umat. Sehingga khalifah kesulitan menemukan orang yang mau menerima zakat karena masifnya berkurangnya status mustahik masyarakat.
Konsep distribusi kekayaan sekaligus pemerataan ekonomi telah ada (built-in) dalam tubuh Islam sendiri. Mekanismenya dijabarkan dalam praktik nabi dan para sahabat (hadis), kemudian diteruskan generasi setelahnya. Filantropi Islam dengan berbagai bentuknya mempunyai efek moral dan sosial bagi masyarakat, khususnya umat muslim.
Peran Filantropi Islam
Eksistensi lembaga zakat pada dasarnya ikut membantu tugas pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Pada tataran makro maupun mikro, zakat berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan secara efektif meningkatkan status kesejahteraan.
Zakat yang dikelola secara baik dan profesional mampu mewujud menjadi program-program pemberdayaan ekonomi. Pada spektrum yang lebih luas, filantropi Islam hadir di ruang-ruang kemiskinan dimana pemerintah masih belum optimal menyentuhnya. Pengelolaan filantropi Islam memiliki dua bentuk dalam distribusinya yakni program bersifat karitas dan program bersifat pemberdayaan.
Karitas mewujud melalui bantuan sosial dan respon kemanusiaan. Sedangkan dalam program pemberdayaan misalnya peternakan, perikanan, bantuan modal usaha dan pelatihan bagi UMKM.
Semua tataran tersebut banyak bergerak dibidang level usaha mikro. Lebih dari 95% perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor UMKM. Maka peranan program filantropi Islam produktif artinya membantu mayoritas perekonomian masyarakat.
Beik dan Arsyanti merumuskan kategorisasi kesejahteraan berkaitan dengan status penerima zakat (mustahik). Ada empat kategori yakni sejahtera, miskin material, miskin spiritual, dan terakhir miskin material dan spiritual (miskin absolut). Zakat bermain pada kategori kedua hingga keempat. Pendekatan program masing-masing dilakukan secara berbeda.
Miskin material, artinya kondisi spiritual mustahik cukup baik maka perlu diberdayakan secara ekonomi, begitu pula sebaliknya. Sedangkan miskin absolut (material-spiritual) maka perlu pendekatan ekstra pada berbagai sisi. Ketiga kondisi tersebut perlu diberdayakan melalui zakat produktif,. Zakat produktif yang selama ini dijalankan oleh para lembaga zakat terbukti memiliki dampak signifikan bagi peningkatan status mustahik ke tingkat lebih baik.
Instrumen filantropi Islam khususnya zakat memiliki keunggulan dibanding bentuk kedermawanan lain pada masyarakat modern. Zakat memiliki sifat wajib jika syaratnya terpenuhi sebagai bagian dari ketaatan beragama. Hal itu artinya seorang muslim yang tidak menunaikan zakat ketika sudah memenuhi syarat maka berdosa. Artinya nilai zakat bukan hanya soal tanggung jawab sosial-horisontal tapi juga tanggung jawab spiritual-vertikal.
Ekosistem filantropi Islam di Indonesia perlu di dorong secara maksimal melalui edukasi dan sosialisasi. Secara institusi, peranan tersebut bisa diambil bukan hanya oleh lembaga zakat, tapi juga melalui perbankan syariah maupun lembaga pelatihan.
Strategi Penguatan
Filantropi Islam perlu dikembalikan sekaligus dikuatkan sebagai pilar penting kesejahteraan sosial-ekonomi. Seluruh instrumen filantropi Islam baik zakat, infak, sedekah maupun wakaf memiliki potensi yang besar dan berkisambungan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui beberapa startegi.
Pertama, edukasi dan sosialisasi ziswaf harus diintensifkan melalui koordinasi dan kolaborasi antar kelembagaan. Hal itu perlu dilakukan sehingga informasi ziswaf dapat sampai ke masyarakat secara luas. Misalnya adanya regulasi zakat yang dibayarkan melalui lembaga resmi dapat menjadi pengurang pajak masih belum familiar di masyarakat. Sebagaimana PP No.60 Tahun 2010 dan UU No.36 Tahun 2008 bahwa zakat yang sifatnya wajib dapat menjadi pengurang pajak.
Kedua, penyebaran informasi implikasi ziswaf bagi pengentasan kemiskinan melalui sejumlah programnya harus digencarkan secara intensif. Sehingga masyarakat tahu bahwa instrumen filantropi Islam bukan hanya kewajiban agama melainkan mampu berdampak positif bagi kesejahtertaan masyarakat.
Ketiga, penguatan dan peningkatan profesionalisme lembaga amil zakat yang harus dilakukan secara terus menerus. Bukan hanya terkait transparansi dan akuntabilitas, tapi juga terkait perencanaan program pemberdayaan ekonomi yang lebih baik dan efisien. Sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menunaikan ziswaf.
Keempat, penguatan regulasi yang mendukung upaya peningkatan ziswaf. Selain itu perlunya regulasi yang ramah bagi semua kalangan pengelola zakat.
Kelima, optimlisasi kanal digital sebagai sarana sosialisasi, edukasi dan penghimpunan, baik melalui media sosial, platform aplikasi, maupun marketplace. Semakin mudah masyarakat mengakses maka peluang meningkatnya ekosistem ziswaf semakin besar.
Kelima strategi tersebut harus dijalankan secara paralel, karena antara yang satu dengan yang lain akan saling berkaitan. Peran secara institusi maupun masyarakat sangat dibutuhkan. Sehingga harapanya filantropi Islam mampu menjadi mercusuar, sumber cahaya dan petunjuk arah bagi pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Wallahu a’lam