Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Teori Etika Utilitarian

EKISPEDIA.COMUtilitas (nilai guna) didefinisikan sebagai manfaat (benefit) yang dipersepsikan subyektif yang terdapat pada sarana pemuas kebutuhan, dimana bagi individu dapat memaksimisasikan kepuasan.

Teori nilai guna menjadi dasar metodologis untuk menilai perilaku sosioekonomi individu yang bersifat faktuil dan diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu sosial yang beragam.

Para sarjana seperti Valfredo Pareto menganggap teori utilitas merupakan pendekatan metodologis yang obyektif, faktuil dan bebas nilai sehingga tidak terjebak pada bias asumsi dan justifikasi doktrin maupun teori ilmiah yang dapat berkonsekuensi pada kekeliruan model analisis.

Kendati teori utilitas dianggap sebagai teori positif tetapi ia senantiasa bergantung pada asumsi-asumsi yang bersifat normatif dan bahkan sarat nilai (value laden) seperti individu dianggap berperilaku rasional dengan semata-mata berorientasi pada self-interest, individu senantiasa berupaya menjalankan fungsi maksimisasi utilitas dan individu dianggap bertindak bebas dengan ketersediaan informasi yang sempurna (perfect information acquisition).

Sebagai konsekuensinya dalam analisis utilitarian bahwa tindakan individu dianggap senantiasa rasional, bebas nilai dan bertujuan hanya memenuhi kepuasan tanpa ada implikasi-implikasi apapun yang bersifat nonmateril.

Atas dasar persepsi tersebut filsafat norma yang merupakan suatu disiplin dalam filsafat hukum yang mempelajari sumber nilai dan justifikasi bagi keberlakuan nilai tersebut juga mengenal teori etika utilitarian.

Teori etika utilitarian pada umumnya dianggap dikembangkan oleh Jeremy Bentham sekitar abad ke-18 M. Ia menjelaskan bahwa suatu norma hukum dan moral senantitasa didasari oleh nilai utilitas, dimana ia dapat menghasilkan kepuasaan atau pemenuhan kebutuhan bagi sebagian besar kalangan masyarakat.

Penilaian Jeremy Bentham ini selanjutnya dianalisis oleh J. S. Mills dalam kerangka analisis institusional bagi perilaku sosial, dimana etika perilaku individu dianalisis melalui pendekatan utilitarian yang lebih bersifat kuantitatif.

Pendekatan utilitarian dalam analisis perilaku institusional individu menunjukkan bahwa norma hukum dan moral dijadikan preferensi pembentuk perilaku sejauh ia dapat memaksimisasikan orientasi utilitarian individu tersebut, dimana hukum dan moral tidak lagi menjadi primasi epistemologi bagi nilai baik-buruk, tetapi ia sekedar motif instrumental bagi individu dalam berperilaku semata-mata untuk memenuhi orientasi kebutuhan. Implikasi yang timbul bahwa moral perilaku individu menjadi lebih bersifat subyektif dan pragmatis.

Etika dan moralitas pola perilaku diterima sejauh ia dapat memenuhi manfaat nilai utilitas bagi kepentingan pribadi dan tidak berdampak merugikan pihak lain. Selain itu, etika utilitarian mengasumsikan sifat atomistis dan otonom bagi etika perilaku utilitarian dimana etika dan moralitas berlaku sesuai preferensi individu tanpa perlu bergantung pada konstruksi sosial apapun yang dipandang bersifat arbiter dan telah berlebihan mengintervensi ranah pola perilaku privatif.

Pendekatan etika utilitarian berkonsekuensi pada pemahaman kebebasan individu yang seluas-luasnya dengan berorientasi pada pemenuhan manfaat dan kepuasan semata-mata sejauh ia tidak merugikan orang lain.

Pemahaman yang sangat materialistis tersebut justru menimbulkan anomali perilaku pada tataran psikologi perilaku individu dan psikopatologi sosial.

Perilaku penyimpangan perilaku psikopatologi diterima melalui normalisasi dalam bentuk dekonstruksi terhadap konstruksi norma, etika dan moral yang bersifat aksiomatis dan berlaku umum sebagai otoritas epistemologis bagi konstruksi nilai, dimana ia justru menimbulkan penyakit mentalitas dan gangguan psikopatis yang bersifat klinis dan merugikan diri sendiri (self-destruction).

Justru, sektor-sektor industri yang bersifat kapitalistis seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat mengeruk profit yang tinggi dari berbagai pola psikopatis yang didasari prinsip etika utilitarian individu dengan menyediakan berbagai sarana pemuas kebutuhan, kendati ia dalam pandangan etika dan moralitas yang diterima umum sebagai konstruksi sosial tidak dapat dibenarkan sebab sangat tidak bermoral dan tidak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Pada konteks ini nilai utilitas bagi sektor industri kapitalis ialah profit dan bagi individu pengidap psikopatologis ialah kepuasaan semu yang dalam pandangan Jean Baudrillard merupakan hiperealitas yang dibentuk dalam substratum pikiran manusia, sehingga justru berdampak merugikan pada pikiran dan jiwa manusia.

Subyektivitas dan pragmatisme nilai etika bagi perilaku utilitarian juga terkait permasalahan moral hazard dan Machiavellianisme.

Moral Hazard menyatakan bahwa sebagai akibat pola perilaku individu bersifat privatif dan tidak dapat dijangkau oleh lingkungan eksternal melalui konstruksi sosial, ia dapat saja berperilaku buruk yang merugikan kepentingan orang lain dengan alasan bahwa tindakannya tersebut didasari kepentingan subyektif.

Pada konteks ini dengan alasan kepentingan pribadinya, individu mengalami permasalahan obskuritas etika dan moral dalam mengambil keputusan. Sedangkan pada perspektif Machiavellianisme disebutkan bahwa individu kerap mengambaikan konstruksi etika dan moral apapun dan hanya berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan utilitas individu, sebagai konsekuensinya individu akan menjalankan atau mengambil keputusan apapun yang dianggap paling menguntungkan atau bermanfaat untuk dirinya dan mengabaikan konsekuensi moral apapun.

Konsep etika utilitarian yang dikembangkan dalam analisis ilmu-ilmu sosial dengan demikian sangat problematis dan justru menimbulkan berbagai paradoks dalam realitasnya.

Pendekatan etika utilitarian justru lebih sebagai justifikasi a prior yang tidak ilmiah atas akar peradaban Graeco-Roma yang dibangun barat atas nama modernitas dan pascamodernitas, bukan sebagai metodologi ilmiah yang obyektif, faktuil dan bebas nilai justifikasi doktrin, dimana justru yang tampak bahwa teori etika utilitarian tidak bersifat obyektif sebab ia dibangun atas dasar konstruksi sosial masyarakat barat dengan kepentingan westernisasi dan imperialisme, tidak bersifat faktuil dengan serangkaian bias paradigma dan metodologis yang ditimbulkan dan bahkan sarat nilai yang terdapat dalam peradaban barat.

Wallahu a’lam