Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Teori Konsumsi dalam Sa'îr as-Salikîn

EKISPEDIA.COMPemikiran ekonomi Islam pada era klasik tidak hanya berkembang dengan kontribusi kalangan al-fuqahâ’ dan al-mutakallimîn yang pada umumnya berupa ‘ilm al-nazhâriyah (ilmu teoritis), tetapi juga terdapat peran para ulama ahli taṣawuf terutama yang berpedoman pada pendekatan tasawuf al-Ghazâlî dengan menitikberatkan dimensi zuhud (esketisme) turut berperan mengembangkan praksis (‘ilm al-‘amâlî) dalam ekonomi Islam terutama terkait permasalahan konsumsi (ta’kul al-ṭa’âm).

Konsep konsumsi dalam ekonomi Islam pada prinsipnya bersifat institusional dalam pengertian bahwa pola perilaku konsumsi didasarkan dan diatur oleh konstruksi norma, etika dan nilai tertentu dan bukan atas asas utilitarianisme yang digerakkan oleh self-interest untuk mencapai maksimisasi kepuasaan yang bersifat subyektif. Institusi perilaku konsumsi di dalam tradisi tasawuf al-Ghazali didasarkan pada sejumlah riyâḍah (latihan spritual) atau suluk (metode) dan aturan disiplin (manual of discipline).

Salah satu korpus teks tasawuf al-Ghazâlî yang tersebar luas dalam konteks vernakularisasi tasawuf di Nusantara yaitu kitab Sa’îrus Salikîn yang disusun oleh seorang ulama Melayu dari Palembang pada abad ke 18 M. bernama ‘Abduṣ Ṣamad al-Falimbânî.

Sa’îrus Salikîn tidak hanya terjemahan lafzhî atas kitab Lubb Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn yang merupakan mukhtaṣar (ringkasan) kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, kitab Sa’îrus Salikîn turut memuat Syarah (penjelasan) dan nukilan-nukilan dari sejumlah kitab lain seperti Awârif al-Ma’ârif karya as-Suhrawardi dan perkataan-perkataan serta nasihan lara ahli tasawuf terkait persoalan suluk.

Al-Falimbânî dalam bab mengenai upaya menghancurkan hasrat perut (konsumsi) di antaranya diuraikan anjuran mengendalikan dan mengatur aktivitas konsumsi yang bersifat esketis (zuhud) untuk mencegah perilaku konsumsi berlebih-lebihan (isyrâf) yang tidak sesuai tuntunan Syara’ dan melemahkan jiwa untuk beribadah.

Al-Falimbânî dalam uraiannya tentang Suluk (metode) dalam mengendalikan pola perilaku konsumsi membagi perilaku konsumsi di antara dua golongan yaitu norma pola perilaku konsumsi yang ditujukan untuk kalangan salîk (penuntun suluk) yang bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) dan juga mencapai derajat bertakwa (muttaqîn) dan norma perilaku konsumsi bagi kalangan awam sebatas untuk menjaga batas-batasan Syariat untuk tidak terjatuh pada perilaku konsumsi yang dicela (majrûr) dan buruk (tajwîr).

Al-Falimbânî menguraikan bahwa kelompok pada martabat pertama menjalankan pola konsumsi dengan beberapa model. Pertama, pola konsumsi tertinggi (al-mutawwâlî) yang dilakukan oleh seorang tabi’în bernama Sahl al-Tastarî, dimana ia membeli bahan-bahan makanan dengan uang tiga dirham. Satu dirham untuk membeli gula dan selebihnya dua dirham lagi dibelikannya tepung dan minyak samin (minyak sapi). Ketiga bahan tersebut dibuat sebuah adonan yang dipecahnya lagi menjadi adonan-adonan yang lebih kecil berbentuk bola kecil sebanyaj 360 buah. Setiap hari ia hanya mengonsumsi satu porsi kue bola kecil itu sepanjang tahun.

Kedua, pola perilaku konsumsi menengah (mutawasitah) yang dilakukan para sahabat Nabi SAW yang di antaranya dengan mengonsumsi makanan hanya sebanyak 7 suapan atau 9 suapan yang bertujuan sebatas memenuhi sepertiga kapasitas perut. Pada konteks ini perilaku konsumsi tersebut mengikuti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Nabi SAW memerintahkan memenuhi seperti perut dengan makanan, seperti dengan air dan sepertiga dengan udara.

Ketiga (mohon koreksinya), pola perilaku konsumsi menengah ke bawah (mutawassitah al-suflî) dengan hanya mengonsumsi kurang dari 1 mud makanan setiap harinya atau setengah ritl dengan tujuan semata-mata seperti ditunjukkan pada pola sebelumnya bertujuan untuk memenuhi sebatas sepertiga kapasitas pencernaan manusia dan tidak diperkenankan lebih daripada itu.

Ketiga pola konsumsi di atas ditujukan bagi kalangan penekun praktik tasawuf ‘amali yang bertujuan untuk mempraktikkan Suluk.

Martabat berikutnya disebut sebagai martabat awam dalam pengertian norma perilaku konsumsi tersebut bertujuan untuk mencegah kalangan awam berdosa (‘itsm) akibat perilaku konsumsi yang berlebihan.

Pertama, pola perilaku konsumsi bahan makanan sebanyak 1 mud atau lebih sedikit yang ditujukan untuk memenuhi sepertiga kapasitas pencernaan makanan. Perilaku konsumsi yang berlebihan pada tahap ini di lusr dari kebutuhan konsumsi termasuk perilaku berlebih-lebihan (iṣraf) danmenghambutkan sampah makanan (tabdzîr) yang diharamkan oleh ketentuan syara’.

Kedua, pola perilaku konsumsi yang tidak didasarkan pada aturan norma apapun dan semata-mata hanya bersandar pada preferensi konsumsi individu dimana individu akan mengonsumsi makanan sesukanya dan tidak akan berhenti memgonsumsi makanan yang disukainya hanya disebabkan ia belum memperoleh kepuasan (satisfaction).

Al-Ghazâlî menyebut pola perilaku konsumsi seperti ini tercela dan tidak memiliki orientasi yang jelas. Al-Ghazâlî menyebut bahwa individu harus memiliki ketentuan yang definitif (munḍabiṭ) terkait pola konsumsi dan batasan pola konsumsi yang boleh dilakukan. Ia meriwayatkan perkataan Abû Dzar al-Ghifârî yang setiap minggunya hanya mengonsumsi porsi makanan seukuran satu sha’ ukuran gandum atau sekitar satu gantang gandum yang berarti kurang lebih terdapat 15 mud atau seharinya sekitar 2,5 mud. Perilaku konsumsi yang melebihi kebutuhan tersebut maka dapat dianggap bentuk pola konsumsi yang berlebihan (iṣraf) dan tidak efisien (tabdzîr).

Uraian pola perilaku yang bersifat institusional dalam Sa’îrus Salikîn bukan hanya sebatas doktrin esketisme yang berkembang di kalangan ahli tasawuf. Ia bahkan harus dianggap sebagai teori (al-nazhâriyah) dan praksis (al-‘amâlî) yang ditahqîq oleh para ulama berdasarkan petunjuk dalil nash yang shahih serta interpretasi para ulama untuk dapat mengonstruksi pola konsumsi Islami yang sesuai petunjuk Islam, moderat (mutawsitah) dan menghasilkan kemaslahatan dari tujuan hukum syara’ maupun akal.

Wallahu a’lam