Trump Jilid 2 dan Pengaruhnya pada Ekonomi Indonesia
Oleh: Fitria Nurma Sari, S.E., M.SEI
Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan
EKISPEDIA.COM - Per tanggal 21 Januari 2025 Donald Trump telah menjadi presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Kembalinya Trump diprediksi akan membawa kebijakan ekonomi baru yang berpotensi menggoyang stabilitas pasar global dan akan berdampak sedikit banyak pada kondisi ekonomi Indonesia.
Trump dikenal dengan kebijakan America First yang cenderung bersifat proteksionis yang memicu fenomena perang dagang pada negara-negara luar terutama China. Perang dagang yang dimulai pada tahun 2017 lalu karena Trump gerah melihat neraca perdagangan negaranya selalu defisit terhadap China. Trump mulai menaikkan bea masuk impor yang diawali dari komoditas baja dan alumunium dan diikuti oleh produk-produk lainnya.
Tidak tinggal diam, China juga melakukan upaya serupa dengan menaikkan bea impor produk yang berasal dari AS seperti otomotif, daging babi, apel dan lainnya. Perang dagang ini nyatanya tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi AS dan China namun juga mempengaruhi perekonomian global.
Perang dagang lambat laun akan memperlambat pertumbuhan ekonomi kedua negara sehingga akan menurunkan permintaan barang impor. Negara-negara yang sebelumnya yang menjadikan AS dan China sebagai negara tujuan impor akan semakin sulit mengirimkan produknya.
Setelah Trump menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya, wacana untuk melanjutkan perang dagang semakin kentara. Dalam kampanyenya, Trump berjanji akan menerapkan bea impor sebesar 60 persen kepada produk-produk China. Tentunya ini menjadi lampu peringatan akan gejolak pasar yang dipicu oleh kebijakan yang akan diambil oleh Trump.
Industri keuangan juga akan terpengaruh karena meningkatnya volatilitas dollar terhadap nilai tukar rupiah. Kebijakan agresif yang seringkali dibumbui retorika ala Trump menstimulus keluarnya modal pasar dari negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus bersiap-siap untuk mengamankan cadangan devisa agar tidak terlalu terdampak dalam situasi ini.
Kebijakan proteksionisme ala Trump yang memperkuat basis produksi domestik dapat menarik investasi asing ke AS. Kebijakan ini secara signifikan menggeser arus investasi global dan menjadi tantangan bagi Indonesia agar tetap menjaga daya tariknya sebagai negara tujuan investasi yang menarik.
Dollar Amerika masih menjadi magnet investasi paling menarik bagi pengusaha global. Terbukti pelaku pasar asing mulai melakukan aksi jual bersih (nett sell) di pasar saham Indonesia karena khawatir kebijakan Trump ke depannya akan merugikan negara berkembang salah satunya Indonesia.
Pemerintah harus mampu menghadapi tantangan ini agar tetap dapat menjaga pertumbuhan ekonomi, bahkan lebih baik jika dapat menciptakan peluang dari kondisi ini. Pada perang dagang AS dan China sebelumnya, beberapa negara mendapatkan durian runtuh karena mampu memanfaatkan peluang tersebut.
Vietnam, Korea Selatan, Bangladesh dan Taiwan adalah contoh negara yang paling diuntungkan dari perang dagang AS dan China. Para peritel di AS mengalihkan sumber pasokan yang sebelumnya berasal perusahaan China ke perusahaan di 4 negara tersebut.
Banyak perusahaan di AS dan mitranya memindahkan lokasi produksinya yang sebelumnya di China untuk menghindari tarif bea masuk AS yang tinggi. Bangladesh dan Vietnam menjadi terdepan tempat industri barang-barang konsumen seperti pakaian dan sepatu karena mampu memberikan penawaran menarik berupa tingkat upah yang kompetitif. Korea Selatan dan Taiwan menjadi alternatif AS sebagai tempat produksi teknologi tingkat tinggi seperti semikonduktor dan produk elektronik.
Indonesia harus memitigasi risiko dari potensi perang dagang AS dan China jilid dua. Langkah paling memungkinkan adalah mendiversifikasi mitra dagang seperti Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin guna meminimalisir ketergantungan pada AS dan China.
Indonesia sudah pada langkah tepat dengan menjadi anggota tetap BRICS sehingga bisa mengakses pasar Amerika Latin melalui Brazil, Afrika melalui Afrika Selatan dan Mesir. Indonesia juga bisa mengakses pasar timur tengah melalui Uni Emirat Arab yang juga bergabung dalam BRICS. Melalui BRICS, langkah pertama sudah ditapaki oleh Indonesia dan harus diperkuat melalui kerja sama yang lebih menjurus pada perdagangan bebas bilateral atau bahkan multilateral.
Indonesia juga perlu menguatkan sektor riil dengan mendorong hilirisasi industri terutama pertambangan. Dengan hilirisasi pertambangan, Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah ekspor daripada hanya menjual dalam bentuk mentah. Dengan adanya hilirisasi juga akan menjadikan perusahaan tambang asing menambah nilai investasi berupa situs smelter guna memproses bahan baku pertambangan.
Indonesia tampaknya juga harus lebih tegas untuk mengeluarkan kebijakan untuk mendukung industri dalam negeri. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pelanduk yang mati di tengah sementara dua gajah sedang bertarung.